Tuesday, September 16, 2008

Taushiyah

16 September 2008, 16:57:07

Hikmah - Al Haromain
Fitnah Akibat Perpecahan

suarasurabaya.net| Oleh: KH. M. IHYA ULUMIDDIN*

“Inilah berbagai dampak buruk bila kaum muslimin tidak mengindahkan seruan Allâh Swt. untuk bersatu-padu, bahu-membahu, merajut persaudaraan sesama mereka, dan tidak menjalin hubungan mesra dengan orang-orang kafir. Kekuatan umat Islam menjadi lumpuh dan harapan yang didambakannya menjadi gagal.”

Allâh Subhânahu wata’âla berfirman:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allâh dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allâh mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allâh niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). Q.S. Al-Anfal: 60.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang-orang kafir, meski lahirnya kelihatan padu, mereka sesungguhnya suka berpecah-belah dan sulit bersatu. Antar satu kelompok mereka dengan kelompok lain mudah berselisih paham, berbeda pendapat, dan bertengkar. Betapa banyak api peperangan tersulut di antara mereka. Romawi (Kristen) pernah berperang dengan Persia (Majusi). Kristen selalu bermusuhan dengan Yahudi. Sementara di dalam masyarakat Kristen sendiri yang terdiri dari sekian banyak sekte, perpecahan dan pertentangan (friksi) selalu terjadi. Pada masa sebelum kenabian, orang-orang kafir tidak memiliki ideologi pemersatu yang sama. Mereka tidak diikat oleh satu prinsip yang sama. Keyakinan tauhid telah mereka rusak, sedang kitab suci pegangan mereka telah hilang kemurniannya. Maka, permusuhan dan perpecahan yang selalu menimpa mereka dari masa ke masa adalah suatu hal yang wajar.

Allâh Swt. berfirman:
Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti. Q.S. al-Hasyr: 14.

Namun, satu hal yang mengherankan adalah, ketika orang-orang kafir itu menghadapi kaum muslimin, mereka bersatu-padu, berkoalisi, dan bahu membahu. Mereka memandang Islam adalah musuh bersama. Mereka tidak lagi mempedulikan agama, kelompok, sekte, suku, atau bangsanya. Mereka berkoalisi menjadi satu kekuatan melawan orang-orang Islam.

Fakta ini bisa diurai dari sejarah perang Ahzab, perang Salib, hancurnya khilafah, penjajahan di dunia Islam, dan berdirinya negara Israel di Palestina. Di negeri ini, fakta itu bisa disaksikan dengan bersekutunya Kristen, Hindu, Budha, dan Konghuchu melibas apa saja yang berbau Islam dan menguntungkan kaum muslimin. Maka benarlah ungkapan yang menyatakan bahwa kekufuran merupakan sebuah agama yang satu, meski bentuknya berbeda-beda. Kekufuran itu merupakan sebuah agama yang satu.

Kaum muslimin apapun bangsa, kelompok, dan partainya adalah umat yang berdiri di atas ideologi yang sama, ideologi Islam, berdiri di atas prinsip yang sama, prinsip Islam, berlindung di bawah panji yang sama, panji Rasulullâh Saw., dan berlandaskan kitab suci yang sama, yaitu kitab suci Al-Qur’an. Mereka bersatu-padu, bergabung dalam satu kekuatan, bersaudara, bahu- membahu, dan berkoalisi, tanpa memandang suku, partai, dan golongan. Sebagian kaum muslimin harus menampakkan wala’ (loyalitas) kepada sebagian kaum muslimin yang lain. Saling mendukung. Mereka tidak boleh sama dengan orang-orang kafir yang selalu berpecah-belah sesama mereka akibat tidak memiliki kesamaan ideologi.

Namun, kenyataan yang ada menunjukkan sebaliknya. Umat Islam suka berpecah-belah. Tidak akur. Berselisih paham dan pendapat. Mereka terkotak-kotak dalam sekian banyak wadah, partai, aliran, dan golongan. Dan itu tetap mereka lakukan, meski di hadapan mereka ada kekuatan nyata menyerangnya atau meski ada satu kepentingan Islam bersama yang menuntut koalisi dan persamaan persepsi di dalamnya. Kepentingan kelompok dan partai atau kepentingan materi dan kekuasaan kelihatan lebih menonjol dari pada kepentingan Islam. Fanatisme. Mereka terjebak pada politik praktis demi kepentingan yang sesaat.

Hal yang bertambah ganjil adalah ketika tidak akur sesama muslim, justru sebagian kaum muslimin menjadikan orang-orang kafir sebagai teman karib. Mereka loyal kepada orang-orang kafir itu melebihi loyalitasnya kepada saudara sesama muslim. Mereka bergandengan tangan dengan musuh sedang sesama saudara mereka membelakangi.

Ayat tersebut di atas memberikan suatu pengertian bahwa ketika kaum muslimin tidak merajut persaudaraan dan persatuan antar sesama mereka serta memutus hubungan dengan kalangan orang-orang kafir sebagaimana diperintahkan Allâh Swt., dan justru berpecah-belah antar sesama kaum muslimin dan menjalin hubungan mesra dengan orang-orang kafir, maka akan lahir kekacauan besar di muka bumi, yaitu merosotnya keimanan dan menangnya kekufuran.

Keimanan umat Islam merosot karena mereka tidak lagi berpegang teguh kepada akidah Islam. Prinsip hidup yang diyakini dicampakkan begitu saja. Umat Islam makin jauh dengan ajaran agamanya. Kendor dan longgar. Umat Islam seakan-akan menjadi umat yang lain. Tidak berciri khas. Di sisi lain kemaksiatan merajalela. Tumbuh jiwa-jiwa tebal yang tidak tersentuh oleh nasihat-nasihat spiritual. Majelis-majelis pengajian sepi. Orang hanya berpikir duniawi, materi, kenikmatan, dan kekuasaan.

Pada saat yang sama, kita saksikan kekufuran mendapatkan kemenangan. Propaganda mereka makin terang-terangan. Gereja tumbuh di mana-mana. Pemeluk agama Hindu dan aliran kepercayaan makin meningkat. Pos-pos strategis mereka kuasai. Dan hal yang paling kita khawatirkan adalah manakala presiden kafir akan memimpin negeri ini.

Inilah berbagai dampak buruk bila kaum muslimin tidak mengindahkan seruan Allâh Swt. untuk bersatu-padu, bahu-membahu, merajut persaudaraan sesama mereka, dan tidak menjalin hubungan mesra dengan orang-orang kafir. Kekuatan umat Islam menjadi lumpuh dan harapan yang didambakannya menjadi gagal. Firman Allâh Swt.:
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Q.S. al-Anfaal: 46.

Adanya kelompok dan partai sebagai cermin perbedaan pendapat di tubuh kaum muslimin memang bukan halangan untuk terajutnya persaudaraan, selama ada niat tulus ikhlas untuk memperjuangan Islam lewat jalur itu dan tidak menjadikan kelompok serta partai sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai sarana perjuangan. Bila niat ini dipegang teguh, niscaya antar kelompok dan partai di tubuh kaum muslimin akan mudah berkoalisi manakala ada kepentingan Islam yang luhur yang menuntut untuk koalisi itu.

Adakah ketulusan niat itu dalam politik praktis dewasa ini? Susahnya adalah bila materi dan kekuasaan telah turun, prinsip perjuangan biasanya menjadi luntur. Apalagi bila sejak awal niatnya memang tidak tulus. Kisah tiga orang di jaman Nabi Isa as. bisa dijadikan pelajaran. Ketiganya adalah orang-orang baik. Namun begitu datang harta melimpah, mereka terperdaya. Mereka berusaha saling membunuh dan akhirnya semua mati.

Di bagian lain, kita melihat sekian banyak kaum muslimin masih terbelakang (bodoh) khususnya di bidang pendidikan dan keagamaan. Di antara mereka banyak yang masih awam terhadap ajaran agamanya. Siapakah yang akan peduli terhadap mereka?

Maka, terus bergiat dalam dakwah inilah jalur yang kita pilih dan tekuni. Jutaan masyarakat muslim yang masih awam di negeri ini adalah lowongan yang terbuka lebar bagi kita untuk memasukinya, mendidik dan membinanya. Ini hasilnya akan lebih jelas, yaitu tumbuhnya kader-kader muslim yang baik. Bukankah lahirnya satu orang yang mendapatkan hidayah lantaran kita nilainya jauh lebih berharga daripada harga unta kemerah-merahan? Bukankah dai adalah penerus misi para nabi? Adakah kebanggaan lebih dari pada ini?

Boleh jadi usia kita seluruhnya tidak akan cukup untuk mendidik dan membina umat itu, apalagi bila sebagian usia itu kita sia-siakan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Seruan Allâh Swt.:
Tidak sepatutnya bagi mu’minin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. Q.S. at-Taubah: 122.

Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi orang awam untuk tidak mau belajar. Sedang bagi orang yang berilmu tidak ada alasan baginya untuk tidak mengamalkan ilmunya (mengajarkannya). Beliau menambahkan bahwa kewajiban mengamalkan ilmu bagi orang berilmu hukumnya menjadi lebih tegas bila keadaan masyarakat banyak yang awam, kemaksiatan merajalela dan kekufuran meningkat (ad-Dakwah at-Tammah wa at-Tadzkirah al-Ammah, hal. 10-16).

Tentang keutamaan mencari ilmu dan mengajarkannya, Rasulullâh Saw. bersabda: “Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu maka Allâh akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya menaungi penuntut ilmu, karena para malaikat itu merasa suka dengan apa yang diperbuatnya (mencari ilmu). Sesungguhnya makhluk di langit dan di bumi sama-sama memintakan ampun kepada orang yang berilmu, hingga ikan-ikan di air. Keutamaan orang berilmu dibanding dengan orang beribadah laksana keutamaan bulan dibanding dengan seluruh bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris pada nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, namun mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambil (mencari) ilmu, dia berarti mengambil bagian yang sempurna.” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi dari Abu Darda’ ra).

Komunitas muslim militan yang diawali dari sekelompok orang suatu saat akan menjadi besar. Peluang menjalankan amanat ilmu, mengamalkannya di setiap sisi kehidupan, menegakkan syariat yang indah akan semakin besar juga, insya Allâh. Dan bila amanat kita semakin besar, tentu tanggung-jawab kita semakin besar pula. Karena itu kita dituntut untuk membina persatuan ukhuwah Islamiah sejak semula. Diharapkan ketika semua berubah menjadi lebih besar, amanat dan tanggung jawab juga besar. Persatuan ukhuwah Islamiah tetap kokoh dan tegar. Amin.
Wallôhu a’lamu bishshowâb.
(*Penulis adalah Khadimul Ma’had Nurul Haromain, Pujon Malang dan Aminul ‘Am Persyarikatan Da’wah Al-Haromain ).(ipg)


sekedar ngopi paste.....semoga manfaat....amien....

Tidurnya Orang Puasa berNilai Ibadah

"hALLo, nanti habis subuh jalan-jalan yok...?!!!"
"Waduh..sori neh......nggak bisa...nGantuk...."
Yah...kok ngantuk? Jalan-jalan dulu, ngantuknya nanti bis jalan-jalan...
Nggak...ngantuk.....
.....
Yawdah...
Hallo?!....
Yawdah..tidur o sana.....
....
tut..tut..tut..tut.........
....
zzzzz......

jdi teringat sama teori salah satu teman sma tentang musabab seseorang setelah makan jadi gampang ngntuk.

MEnurut dia, zat-zat makanan yang udah di perut itu sifatnya menarik saraf-saraf mata ke bawah, jadinya pengennya mata itu kelopaknya seringkali merem-merem...menahan kantuk karena ditarik kebawah ma makanan yang udah di perut itu. Wakakakakakakakkk........

Kalo kantuk udah nggak tertahankan lagi, pikiran kita segera pindah dari alam sadar menuju alam bawah sadar. Gejala-gejala yang kadang ditemui orang yang ngantuk itu nggak sadar dengan keadaannya sendiri. Trus, Kelopak mata riyip-riyip seperti damar kanginan, punggung pengen ndang mambu kasur, otot-otot umumnya mengendor, mulut bolak-balik angop,...sampai kemudian kita sendiri memutuskan untuk tidur atau tertidur. Makanya dengan ngantuk itu, jadi warning supaya tubuh itu diberi kesempatan untuk menyeimbangkan dirinya. Mungkin, terlalu capek atau tegang. Sekaligus peringatan supaya orang yang berada di alam sadar ngertiin hak-hak sodaranya yang tengah berada di alam bawah sadar.
sesuai dengan teori diatas, saat selesai makan menjadi waktu favorit untuk tidur. Dan di bulan puasa ini, ada dua waktu besar orang-orang pada makan, saat buka dan saat sahur.
Terutama saat setelah sahur. Waktu ini jalanan lengang, lampu-lampu penerangan jalan masih menyala, pintu-pintu dan jendela rumah masih pada tertutup. Aktivitas kerja pun masih jauh, sekitar sejam dua jam ato mungkin lebih. Lumayan klo "nyicil" tidur di waktu itu.
Apalagi, tidurnya orang puasa itu bernilai ibadah....tul G?

Skater

  • Dale Carnegie (edisi terj.)