Sunday, September 28, 2008

Sandal baru

Sekian bulan silam, aku beli sandal jepit. Ngga lama, pas waktu di warnet ketuker sama punya orang lain. Bahannya lebih atos, semacam campuran karet sama plastik. Warnanya juga lebih menarik, hitam sleret-sleret merah. Ada tulisannya Larudo. Sampe kemudian sandal itu putus semalam, aku nggak kunjung tau siapa yang 'tega-teganya' nukarin sandal itu sama sandal jepitku.

Kalo diperhatikan model slandatnya, mungkin bisa diupayakan untuk fungsi lagi. Sekalian ngasah bakat kreatifku yang aslinya lumayan mengagumkan, tapi terpendam dalam sekali. Kependhem sama sifat males yang nggak ketulungan kalo lagi kumat. Seperti malam tadi.

Maka, dalam perjalanan pulang aku sempatkan mampir untuk lihat-lihat sandal yang dijual PKL deket Rangkah. Kali aja harga dan modelnya cocok. Kayaknya banyak juga yang tertarik untuk sekedar mampir di tempat itu. Mulai dari yang sekedar 'iseng' sampai yang akhirnya jadi beli. Tawar menawar harga pun terjadi. Untuk model mirip sandalku yang putus itu, harga terakhir yang penjual kasih sekitar satu setengah dollar, amerika.


Mahal, batinku. Nggak jadi beli.

Sampe hari berganti, keesokan harinya, pagi tadi aku nggak bisa lagi nahan nafsu...aih...keinginan ..untuk ke pasar.
Tau sendiri kan, untuk seorang sidewalker wal pancater seperti diriku ini, harus adanya sandal seperti harus adanya mangkuk ketika makan bakso....

Semalaman pinjam sandal jepit punya teman sebelah kamar yang memang tiap hari kena giliran kerja sip (pake ep, bukan pake pe) malam sampai pagi.

Tatkala mentari sudah mulai naik, dan setelah melepaskan status maa ulima ridho uhu sandal jepit 'gasab'an, dengan mateg aji niat ingsun dan berbekal selembar uang sepuluh ribu, selembar lima ribu, selembar seribu, dan sekeping seratus, rupiah, di kantong, kularikan 'tiger' tungganganku menuju apotek terdekat...hmm..pasar...maksudnya.

Walhasil, sesampai di pasar..dengan segenap daya panca indera dan atas ijin serta kuasa-Nya, kutemukan juga salah satu lapak yang nampak memajang model-model alas kaki, termasuk sandal. Hmm..puncak di tiba ulam cinta.....

Modelnya, lumayan maknyus..jadi sempat mupeng. Hingga kemudian bagai disambar petir sampe kaos bolong, harga terendah yang bakal bikin penjual itu rela untuk ngasih sandalnya ke aku ternyata selisih sekian ribu rupiah lebih tinggi dari yang semalam.

Pasrah deh.

Jadi celingak kiri celinguk kanan, cari utangan...? G mungkin. Ga ada yang kenal.
Mo kredit? lagi ga bawa katepe buat jaminan.
Celana juga cuman bawa satu.
Tiger dapat pinjeman.
Ya akhirnya jurus terakhir : mode melas dipasang ON di muka.

Dengan jujur, tulus, ikhlas dan lugu kukatakan padanya bahwa sesungguhnya uangku kurang. Tapi si dia tetep nepsu....halah...maksa aku untuk nawar dulu. Aku terus berkilah, paling kalopun nawar jatuhnya nggak bakalan jauh-jauh, paling cuman turun berapa ribu. Dan si doi pun nggak kalah ngotot. Malah akhirnya, dia 'maksa' aku untuk buka sarung...eeehh..ehh...buka nominal uang yang kubawa.

Lalu kusebutkanlah hasil penjumlahan nilai dari lembaran-lembaran kertas yang kukantongi di saku sebelah kiri.
Walhasil, dia pun mlongo..ngos-ngosan....nyerah.
Tapi aku belum puas. Aku pengennya model yang lebih bagus.
Kutimang-timang saja sandal itu.
"Klo yang itu ga boleh segini?" tawarku dengan harga sama sembari mengarahkan jemariku ke sandal yang sedari awal sudah bikin aku ngiler.
"Ga boleh".
Lalu kuucapkan satu kalimat (rahasia dong).

Dan kemudian, dia pun rela nyerahin setelah aku pun bersedia untuk ngasih isi kantong ku sebelah kanan sebagai tambahan.

Dan kami pun kemudian, sama-sama mencapai klimaks prosesi jual beli. Puncak kesepakatan telah diraih. Dalam hitungan detik, lembaran-lembaran rupiah yang kusimpan rapat di saku kiri kanan celanaku telah berpindah ke tanganku kemudian ke tangannya. Untuk kemudian dia kibas-kibaskan pada dagangannya. Semacam sugesti plaris.

Quik silver, tulisan dengan huruf semacam font trebuchet atau modern gitu tertera di permukaannya.

Skater

  • Dale Carnegie (edisi terj.)